Latest News

Saturday, September 23, 2017

Inilah Laksamana Cheng Ho Pembawa Islam di Tanah Kalimantan

Suku Dayak atau orang-orang dari suku Dayak, Kalimantan, tidak asing lagi dengan nama atau sosok legendaris yang satu ini, yakni Laksamana Cheng Ho. Itu disebabkan oleh jasa sekaligus sosok dan kepribadiannya yang memang sangat mirip dengan suku Dayak Tidoeng.

Laksamana Cheng Ho memang telah mengubah penampilan busana masyarakat sehingga dikenal sebagai Dayak Tidoeng.

Namun, kenapa Laksamana Cheng Ho begitu dikenal oleh orang-orang Dayak di Kalimantan? Jawabannya, karena Laksamana Cheng Ho adalah sang pahlawan keagamaan yaitu agama Islam. Cheng Ho adalah penyebar agama Islam di Kalimantan, terutama terhadap orang-orang Dayak.

Laksamana Ceng Ho yang juga mempunyai nama arab Haji Mahmud Shams) (1371 - 1433), adalah seorang pelaut dan penjelajah Tiongkok terkenal yang melakukan beberapa penjelajahan antara tahun 1405 hingga 1433.
Beberapa tempat lain di Nusantara yang disiggahi antara lain Pulau Sabang, Pulau Batam, Pulau Bangka dan Semarang.
Sejarah mencatat bahwa ornamen naga yang yang mengandung sejarah, bahwa turunan suku Dayak Tidoeng berasal dari Yunan di Tiongkok Selatan.

Sejarah mencatat bahwa "Penamaan 'Tidoeng' sendiri berasal dari kata 'Gunung' karena Suku Dayak yang telah Islam itu berada di daratan tinggi dengan busana yang berbeda dengan suku Dayak umumnya yaitu menggunakan gamis sehingga masyarakat setempat menyebutnya sebagai Dayak Gunung atau Dayak Tidoeng.

Saparudin, seorang tokoh masyarkat Dayak, seperti dikutip berbagai media online,  menjelaskan, Suku Dayak Tidoeng menjadi satu dari 406 Suku Dayak yang tersebar di Kalimantan. Suku itu sempat mempunyai keraton yang dulunya berada di Lapangan Datu Adil di Tarakan, namun dihancurkan sampai rata dengan tanah oleh penjajah Belanda karena sikap Kesultanan Tidoeng yang menolak bekerjasama dengan penjajah.
Nama kesultanan itu juga tenggelam oleh Kesultanan Bulungan karena setelah keraton dihancurkan Suku Tidoeng melakukan perlawanan dan menyingkir ke pedalaman.
Untuk menghadirkan kembali kraton yang sudah hilang itu, keturunan ke-14 dari Kesultanan Tidoeg, H Moehtar Basir Idris membangun replika rumah adat besar yang dulu berfungsi sebagai kraton di Jalan Aki Bambu, tempat lain yang lebih tinggi.
Moechtar Basir saat ini menjadi Kepala Adat Besar Dayak Tidoeng yang tersebar di seluruh Kalimantan dan sebagian besar mendiami Kalimantan Utara.

Di komplek itu dibangun rumah adat suku Tidoeng disebut dengan Baloy Adat Tidoeng dari bahan kayu ulin atau kayu besi yang banyak ditemukan di daerah Kalimantan. Lokasinya sekitar dua kilometer dari Bandar Udara Djuwata Tarakan.

Rumah Baloy Adat Tidoeng itu terdiri dari empat ruang utama yaitu Alad Kait tempat menerima masyarakat yang mempunyai masalah adat, Lamin Bantong tempat pemuka adat bersidang untuk memutuskan perkara adat, Ulad Kemagod berfungsi sebagai ruang berdamai setelah selesainya perkara adat, dan Lamin Dalom sebagai tempat singgasana Kepala Adat Besar Dayak Tidung.

Baloy Adat Tidoeng juga dinamakan Baloy Mayo Djamaloel Qiram untuk mengenang kepala suku pertama yang beragama Islam.

Sumber: netralnews

No comments:

Post a Comment